Jumat, 29 Juni 2012

PENGERTIAN DAN FUNGSI HUKUM ACARA PERDATA


 
1. PENGERTIAN DAN FUNGSI HUKUM ACARA PERDATA
A.Pengertian dan Fungsi Hukum Acara Perdata
a. Hukum Acara Perdata adalah Peraturan Hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim(Mertokusumo,1998:2)
b. Hukum Acara Perdata adalah seperangkat norma hukum yang mengatur bagaimana caranya menegakkan hukum perdata material,khususnya dalam hal terjadi pelanggaran hak atas subyek hukum tertentu oleh subyek hukum yang lain melalui perantaraan hakim untuk mencegah terjadinya perbuatan main hakim sendiri
c. Hukum Acara Perdata secara kongkrit hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak,memeriksa dan memutusnya serta pelaksanaan daripada putusannya (Mertokusumo,1998:2)

B.Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
a. Sumber Hukum material yaitu sumber hukum dalam arti bahan diciptakannya atau disusun suatu norma hukum.
b. Sumber Hukum Formal yaitu sumber hukum dalam arti dapat ditemukannya atau dapat digalinya satu norma hukum sebagai satu dasar yuridis suatu peristiwa hukum atau suatu hubungan hukum tertentu.
   a) Sumber Hukum Material
     1)Sumber dalam arti sumber filosofis;
     2)Sumber dalam arti sumber sosiologis;
     3)Sumber dalam arti sumber historis;
     4)Sumber dalam arti sumber yuridis.

   b) Sumber Hukum Formal
1)Sumber Hukum Tertulis
1.HIR (S. 1884 no.16, S. 1941 no.44), RBg (S. 1927 no.227), RV (S. 1847 no.52, 1849 no. 63)
2.BW buku IV, WvK dan Peraturan Kepailitan
3.UU no. 1 Tahun 1974 (LN 1) tentang perkawinan
4.Undang-undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
5.Undang-undang No.5 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
6.Undang-undang No.8 Tahun 2004 Perubahan atas undang-undang No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
7.Undang-undang No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat
8.UU no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Hingkungan Hidup
9.UU no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
10.Undang-undang Khusus lainnya dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya dalam bidang peradilan.

2)Sumber Hukum Tidak Tertulis
1.Yurisprudensi
2.Doktrin dan ilmu Pengetahuan
3.Kebiasaan “Wirjono Prodhodikoro” (Mertokusumo;1998;9)
4.Perjanjian Internasional

II.ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
Asas hukum (rechtsbeginsel) adalah pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkret (hukum positif). Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. mengatakan asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum,ialah ratio legisnya peraturan.

A.Hakim Bersifat Menunggu
a. Asas ini berarti bahwa inisiatif berperkara di pengadilan ada pada pihak-pihak yang berkepentingan dan bukan dilakukan oleh hakim (inde ne proeedat ex officio). Hakim hanya besikap menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya. Akan adanya proses atau tidak, ada tuntutan hak atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Kalau sudah ada tuntutan yang menyelenggarakan proses adalah Negara.

b. Hal ini karena hukum acara perdata hanya mengatur cara-cara bagaimana para pihak mempertahankan kepentingan pribadinya. Seorang hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya, dengan alasan bahwa hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004). Dalam hal ini hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Apabila hukum tertulis tidak ditemukan, maka hakim wajib menggali, mengikiti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004).

B.Hakim Bersikap Pasif
a. Maksud hakim bersikap pasif adalah hakim tidak menentukan ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepadanya,tapi yang menentukan adalah para pihak sendiri. Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 5 ayat (2) UU No. 5 tahun 2004).

b. Hakim harus mengadili seluruh bagian gugatan, tetapi hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (Pasal 178 ayat 2,3 HIR/189 ayat 2, dan 3 Rbg).

c. Namun bukan berarti hakim tidak berbuat apa-apa. Selaku pimpinan sidang hakim harus aktif memimpin jalannya persidangan sehingga berjalan lancar. Hakimlah yang menentukan pemanggilan, menetapkan hari persidangan serta memerintahkan supaya alat bukti yang diperlukan disampaikan dalam persidangan. Hakim juga berwenang memberikan nasihat, mengupayakan perdamaian, menunjukkan upaya-upaya hukum dan memberikan keterangan kepada pihak-pihak yang berperkara (Pasal 132 HIR/156 Rbg). Karena itu sering dikatakan dalam sistem HIR adalah hakim aktif, sedangkan dalam sistem Rv.

d. Hakim pasif. Karena Rv mewajibkan para pihak mewakilkan kepada orang lain (procureur) dalam beracara dimuka pengadilan.

C.Sidang Pengadilan Terbuka untuk Umum
a. Sidang pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain (Pasal 19 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004), sidang pengadilan dapat dihadiri, didengar dan dilihat oleh siapapun kecuali oleh orang-orang yang memang dilarang oleh undang-undang, tidak dipenuhinya asas ini berakibat putusan hakim menjadi batal demi hukum (Pasal 19 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004).

b. Dengan demikian berarti bahwa setiap orang boleh hadir, mendengar dan menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara di pengadilan. Tujuan asas ini adalah untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang adil, tidak memihak dan obyektif serta untuk malindungi hak asasi manusia dalam bidang peradila, sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Asas ini membuka ‘social control’ dari masyarakat, yakni dengan meletakkan peradilan dibawah pengawasan umum.

c.Persidangan dapat dilakukan secara tertutup seperti dalam kasus perceraian, perzinahan,perkara yang berkaitan dengan ketertiban umum dan rahasia negara serta pemeriksaan anak dibawah umur.

D.Mendengar Kedua Belah Pihak (audi et alteram partem)
a. Menurut hukum acara perdata, para pihak yang berperkara harus diperlakukan sama, adil dan tidak memihak untuk membela dan melindungi kepentingan yang bersangkutan.

b. Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai sesuatu yang benar, tanpa mendengar atau memberi kesempatan pihak lain untuk menyampaikan pendapatnya. Demikian pula pengajuan alat bukti harus dilakukan dimuka siding yang dihadiri kadua belah pihak (Pasal 121, 132 HIR/ 145, 157 Rbg).

E.Putusan Hakim Harus Disertai Alasan (Motieviring Plicht)
Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 menegaskan bahwa semua putusan pengadilan harus disertai alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Asas ini dimaksudkan untuk menjaga supaya jangan sampai terjadi perbuatan sewenang-wenang dari hakim. Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan (onvoeldoende gemotiverd) merupakan alasan untuk mengajukan kasasi dan putusan tersebut harus dibatalkan. Karena ada alasan-alasan inilah suatu putusan mempunyai wibawa, nilai ilmiah dan obyektif.

F.Beracara Dikenakan Biaya
a .Pada prinsipnya beracara perdata dimuka pengadilan dikenakan biaya (Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004). Biaya hanya bisa didaftarkan setelah dibayar panjar biaya perkara oleh yang berkepentingan.

b. Biaya perkara meliputi: biaya kapaniteraan, pemanggilan dan pemberitahuan kepada para pihak, biaya materai serta biaya untuk pengacara apabila menggunakannya.

c. Bagi orang yang tidak mampu,dapat mengajukan perkaranya secara cuma-Cuma (prodeo), dengan menyertakan surat keterangan tidak mampu yang dibuat Kepala Polisi atau Camat setempat, sehinnga biaya perkara akan ditanggung oleh Negara.

G.Tidak Ada Keharusan untuk Mewakilkan
a. Baik dalam HIR maupun dalam Rbg tidak ada keharusan kepada para pihak untuk mewakilkan pengurusan perkaranya kapada kuasa yang ahli hukum, sehingga pemeriksaan dipersidangan dilakukan secara langsung terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. Tetapi para pihak juga dapat mewakilkan atau

b. menguasakan kepada orang lain untuk beracara dimuka pengadilan sebagai kuasa hukumnya (Pasal 123 HIR/147 Rbg).

H.Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 4 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004)
a. Maksudnya adalah hakim harus selalu insyaf karena sumpah jabatannya, ia tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri dan kepada masyarakat, tetapi bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b. Setiap putusan pengadilan harus mencantumkan klausa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” agar putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk melaksanakan putusan secara paksa, apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela.

I.Peradilan Dilakukan dengan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan (Pasal 4 ayat (2) UU No.4 tahun 2004)
a. Sederhana maksudnya acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas dalam beracara maka semakin baik. Sebaliknya terlalu banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka ragam penafsiran sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum.

b. Cepat menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut-larut yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya.
c. Biaya ringan maksudnya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Biaya perkara yang tinggi membuat orang enggan beracara di pengadilan


KEKUASAAN KEHAKIMAN

A.Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri
a.mandiri dalam tugas yudisial
b.mandiri dalam bidang administrasi
c.mandiri dalam bidang organisasi
d.mandiri dalam bidang financial

B.Kekuasaan kehakiman Yang Merdeka
a. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia ( Pasal 1 Undang-undang No.4 Tahun 2004 ) “

b. Kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial,kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Penjelasan Pasal 1 UU No.4 / 2004)

c. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila,sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia (penjelasan Pasal 1 UU No.4 Tahun 2004 ) “ Bersiafat tidak Mutlak dan Dibatasi Oleh:
a)Nilai-nilai Norma Hukum;
b)Nilai-nilai Keadilan;
c)Nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945
d)Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang,kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 ( Pasal 4 ayat (3) UU No.4 Tahun 2004 )

Asas Obyektifitas
a. Asas ini terdapat dalam pasal 5 ayat (1) UU No.4 tahun 2004, yang menyebutkan: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.” Maksudnya hakim dalam menerima, mengadili dan memutuskan setiap perkara harus berlaku adil,obyektif dan tidak boleh memihak pada salah satu pihak. Kedua belah pihak harus diperlakukan sama.

b. Untuk menjamin asas ini, undang-undang menyediakan hak bagi pihak yang diadili yang dinamakan “hak ingkar (recusatie atau wraking).” Yaitu hak seorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya. yang terdapat dalam pasal 29 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004.
a) Dasar alasan hak ingkar:
Dasar pengajuan hak ingkar (pasal 29 ayat (3,4,5) UU No. 4 tahun 2004, pasal 374 ayat (1) HIR)
1)Apabila seorang hakim terikat hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau
semenda antara seorang hakim dan ketua, jaksa, penasehat hukum, atau panitera dalam suatu perkara tertentu atau hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda dengan yang diadili.
2)Apabila perkara yang diperiksa oleh hakim atau panitera terkait dengan kepentingannya sendiri secara langsung maupun tidak langsung.
Sebaliknya berdasarkan alasan-alasan yang sama pula hakim wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara yang bersangkutan atas permintaan sendiri maupun atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan (pasal 29 ayat (3) UU No. 4 tahun 2004, 374 HIR, 702 ayat 2 Rbg: excusatie, verschoningsrecht).

Susunan Persidangan dalam Bentuk Majelis
a.Pasal 17 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 menyatakan bahwa: “Semua pengadilan memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali apabila undang-undang menentukan lain.” Asas hakim majelis ini dimaksudkan untuk menjamin pemeriksaan yang seobyektif mungkin, guna memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam bidang perdilan.

b.Meskipun asasnya adalah hakim majelis, namun didalam praktiknya masih banyak perkara-perkara perdata, baik declaratoir maupun contradictoir dan juga perkara-perkara pidana baik summier maupun pidana biasa diperiksa dengan hakim tunggal yang sifatnya juga sah.


Pemeriksaan dalam Dua Tingkat
a.Pemeriksaan dalam dua tingkat, yaitu: peradilan dalam tingkat pertama (original yurisdiction) dan peradilan dalam tingkat banding (apellate jurisdiction).

b.Peradilan banding disebut peradilan tingkat kedua karena cara pemeriksaannya sama seperti pengadilan ditingkat pertama. Pemeriksaan tingkat banding merupakan pemeriksaan dalam tingkat kedua dan terakhir, karena banding merupakan pemeriksaan terakhir dari segi peristiwa maupun hukumnya yang mengulangi pemeriksaan secara keseluruhan.

c.Kasasi bukanlah pemeriksaan tingkat ketiga, karena kasasi hanya memeriksa perkara dari segi penerapan hukumnya saja dan tidak lagi memeriksa.

d.tentang fakta atau peristiwanya. Karena alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dalam pengajuan kasasi, hanyalah didasarkan pada alasan-alasan hukumnya saja.

e.Yang Dicari Kebenaran Formil
Dalam perkara perdata yang ingin dicari hakim adalah kebenaran formil, yaitu kebenaran yang hanya didasarkan atas bukti-bukti yang secara yuridis formil dapat diajukan para pihak dalam sidang pengadilan. Hakim dalam perkara perdata sifatnya pasif, yaitu hanya sekedar menerima, meninjau, dan menilai bahan-bahan yang disampaikan oleh pihak-pihak yang berperkara dan kemudian mengambil keputusan atas dasar penilaian terhadap bahan-bahan yang diajukan itu. Jadi kebenaran yang diperoleh hanya didasarkan pada formalitas hukum semata.

C.Badan Peradilan Negara
Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan Undang-undang{ Pasal 3 ayat (1) UU No.4 / 2004}”
a.Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 2 Jo Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No 4 Tahun 2004) “


b.Organisasi,administrasi,dan financial
a)Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah agung (Pasal 13 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004).

b)Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi ( Pasa 13 ayat (2) UU No.4 Tahun 2004)

c)Skema Kekuasaan Kehakiman

D.Lingkungan Peradilan
Pada umumnya dikenal pembagian peradilan yaitu:
a.Peradilan umum
Adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya,baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana.

b.Peradilan khusus
Adalah mengadili perkara atau golonagn tertentu.
a)Pengadilan Khusus hanya dapat di bentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan Undang-undang (Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 ).

b)Pengadilan khusus,antara lain,adalah pengadilan anak,pengadilan niaga,pengadilan hak asasi manusia,pengadilan tindak pidana korupsi,pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum dan perdilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara( penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 / 2004.

c.Dalam pasal 10 UU No. 4 tahun 2004 menetukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan khusus, yaitu terdiri dari:
a)Peradilan umum
b)Peradilan agama
c)Peradilan militer
d)Peradilan tata usaha Negara

d.Disamping empat lingkungan peradilan yang diatur dalam UU no. 4 tahun 2004 masih dikenal peradilan lain yaitu:
a)Peradilan perburuhan dilaksanakan oeh P4D dan P4P. Dasar hukum UU no. 22 tahun 1957,

b)Peradilan perumahan dasar hukuna dimuat dalam PP no.49 tahun 1993 dan disempurnakan dengan PP no. 55 tahun 1981 diselenggarakan oleh Kantor Urusan Perumahan tentang sewa-menyewa,

c)Peradilan pelayaran diselengarakan oleh Mahkamah Pelayaran, adapun dasar hukumnya adalah S. 1914 no. 226 tentang Tubrukan Kapal di Perairan Pedalaman, S. 1934 no. 215 tentang Ordinasi Mahkamah Pelayaran

e.Peradilan syariah Islam
a)Peradilan syariah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangnan peradilan agama dan merupakan penagdilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan pengadilan umum (Pasal 15 ayat (2) UU No.4 / 2004 ).

b)Pengadilan syariah Islam
Terdiri atas Mahkamah Syariah untuk tingkat pertama dan Mahkamah syariah Propinsi untuk tingkat banding ( Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 ) “

E.Kompetensi Lembaga Peradilan
a.Kompetensi / kewenangan absulut

a)Adalah merupakan Kewenangan lembaga peradilan dalam menerima, memeriksa dan mengadili serta memutus suatu perkara tertentu berdasarkan atribusi kekuasaan kehakiman yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain,baik dalam lingkungan badan peradilan yang sama,maupun dalam lingkungan peradilan yang berbeda.

b)Kopetensi absulut terkait dengan pertanyaan peradilan apakah yang mempunyai kopetensi atau kewenangan untuk memeriksa suatu jenis perkara tertentu. Apakah peradilan umum,peradilan agama,atau peradilan lainnya.
b.Kopetensi Absolut Lingkungan Peradilan Umum
a)Kompetensi Absolut Pengadilan Negeri
1)keperdataan pada tingkat pertama ( Pasal 50 UU No.2 /1986 Jo UU No. 8 /2004)
2)Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus perkara pidana pada tingkat pertama ( Pasal 50 UU No.2 /1986 Jo UU No.8 /2004 )
3)Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus pada tingkat pertama perkara koneksitas.
4)Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus semua perkara atau sengketa
5)Perkara Koneksitas

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer,diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer “ ( Pasal 24 UU No. 4 / 2004

b)Kompetensi Absulut Pengadilan Tinggi
1)Menerima,memeriksa,mengadili dan memutuskan perkara/sengketa perdata pada tingkat banding atas putusan pengadilan tingkat pertama ( Pasal 51 ayat (1) UU No.2 /1986 Jo UU No 8 /2004 ).

2)Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus perkara pidana pada tingkat banding atas putusan pengadilan tingkat pertama ( Pasal 51 ayat (1) UU No. 2 /1986 Jo UU No.8 /2004 ).

3)Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus ditingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan negeri di daerah hukumnya(menyangkut kopetensi relatif Pasal 51 Ayat (2) UU No.2 / 1986 Jo UU No.8 /2004 ).

4)Menerima,memeriksa dan mengadili serta memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara /sengketa perdata secara prorogasi (Pasal 3 ayat (1),(2) UU Dar. 1 /1951 ,Pasal 128 (2) RO dan Pasal 85 RBg.



c)Kompetensi Absulut Mahkamah Agung
1)mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkubngan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat (2) huruf a UU No.4 /2004).

2)menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang ( Pasal 11 ayat ( 2) huruf b UU No. 4 / 2004 ).

3)memeriksa,mengadili dan memutus sengketa wewenang mengadili : a. antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang lain, b. antara dua pengadilan yang ada dalam derah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan peradilan yang sama dan c. antara dua pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan ( Pasal 33 ayat (1) UU No. 14 / 1985 ).

4)Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang RI diputus oleh MA dalam tingkat pertama dan terakhir ( Pasal 33 ayat (2) UU No. 14 / 1985.

5)Permohonan peninjauan kembali atas putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap ( Pasal 34 UU No.14 / 1985 ).

d)Kopetensi absulut Mahkamah Konstitusi
Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (Pasal 12 ayat (1) UU No.4 /2004 )
1)menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
2)memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ;
3)memutus pembubaran partai politik;
4)memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5)Wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan /atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,dan /atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan /atau wakil Presiden Pasal 12 ayat ( 2 ) UU No. 4 / 2004

e)Kompetensi Relatif
Adalah kewenangan lembaga peradilan dalam menerima, memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara tertentu berdasarkan wilayah hukum suatu pengadilan berdasar distribusi kekuasaan kehakiman. Kompetensi relative menyangkut pertanyaan ke pengadilan negeri manakah suatu perkara harus diajukan ?
Kompetensi Relative Ditemukan Pengaturannya dalam Pasal 118 HIR atau Pasal 142 RBg
1) Sebagai asas ditentukan bahwa Pengadilan Negeri di tempat tinggal tergugat yang wenang untuk memeriksa gugatan atau tuntutan hak,asas ini disebut asas actor sequitur forum rei ( Pasal 118 ayat (1) HIR,142 ayat (1) RBg )
2) Apabila tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal atau tempat tinggalnya yang nyata tidak dikenal atau tergugat tidak dikenal,maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tergugat sebenarnya tinggal (Pasal 118 ayat (1) HIR,142 ayat (1) RBg)
3) Dalam hal ada domisili pilihan maka gugatan di ajukan kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal atau domisili pilihan tersebut ( Pasal 118 ayat (4) HIR,142 ayat (4) RBg) domisili /tempat tinggal pilihan harus dibuat dengan akta oleh para pihak (Pasal 24 BW)
4) Dalam hal pihak tergugatnya lebih dari seorang dan tempat tinggalnya tidak dalam satu wilayah hukum pengadilan negeri ,maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan negeri di tempat salah satu tergugat bertempat tinggal. Penggugat dapat memilih salah satu pengadilan di wilayah hukum para tergugat bertempat tinggal (Pasal 118 ayat (2) HIR,Pasal 142 ayat (3) RBg )
5) Dalam hal tergugatnya terdiri orang-orang yang berhutang (debitur) dan penanggung,maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang meliputi wilayah hukum tempat tinggal si berhutang atau debitur (Pasal 118 ayat (2) HIR,142 ayat(2) RBg )
6) Dalam hal obyek gugatan adalah benda tetap maka gugatan diajukan ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tetap tersebut -asas forum rei sitae ( Pasal 118 ayat (3) HIR,Pasal 142 ayat (5) RBg.
7) Dalam hal tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal maupun tempat tinggal yang nyata atau apabila tergugat tidak dikenal,gugatan dapat diajukan kepada pengadilan negeri di tempat penggugat tinggal ( Pasal 118 ayat(3) HIR, 142 ayat (3) RBg) bentuk penyimpangan atas asas actor sequitur forum rei.
8) Terhadap kompetensi relatif apabila tidak ada eksepsi maka pengadilan tetap mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara yang telah diajukan oleh penggugat. Ketidak wenangan pengadilan dengan alasan melanggar kompetensi relatif harus berdasarkan adanya eksepsi dari salah satu pihak yang bersengketa (pihak tergugat). Sedangkan menyengkut kompetensi absulut ada atau tidak eksepsi hakim harus menyatakan dirinya tidak wenang.


TATA CARA PENGAJUAN TUNTUTAN HAK
A.    PENGERTIAN TUNTUTAN HAK KEPERDATAAN
Tuntutan hak adalah suatu upaya yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum atas hak –hak tertentu yang dimiliki oleh seseorang melalui proses peradilan yang dibenarkan menurut hukum untuk mencegah terjadinya “eigenrichting”atau perbuatan main hakim sendiri dalam melaksanakan haknya sehingga menimbulkan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan pihak lainnya.
Tuntutan hak yang di dalam pasal 118 ayat 1 HIR (pasal 142 ayat 1 Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan. Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis (pasal 118 ayat 1 HIR ,142 ayat 1 Rbg) maupun secara lisan (pasal 144 ayat 1 Rbg).
HIR dan Rbg hanya mengatur tentang caranya mengajukan gugatan, sedang tempat persyaratan mengenai isi daripada gugatan tidak ada ketentuannya. Bagi kepentingan para pencari keadilan kekurangan ini diatasi oleh adanya pasal 119 HIR (pasal 143 Rbg), yang memberi wewenang kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memberi nasehat dan bantuan kepada pihak pengugat dalam pengajuan gugatannya. Dengan demikian hendak dicegat pengajuan gugatan-gugatan yang kurang jelas atau kurang lengkap.

B. PIHAKPIHAK PIHAK DALAM PERKARA PERDATA
Di dalam suatu sengketa perdata sekurang kurangnya terdapat dua pihak, yaitu : pihak penggugat yang mengajukan gugatan, dan pihak tergugat. Dan biasanya orang yang langsung berkepentingan sendirilah yang aktif bertindak di muka pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat. Mereka ini merupakan pihak materil, karena mereka mempunya kepentingan langsung di dalam perkara yang bersangkutan, tetapi sekaligus juga merupakan pihak formil, karena merekalah yang beracara di muka peradilan.
Akan tetapi seseorang dapat pula bertindak sebagai penggugat atau tergugat di muka pengadilan tanpa mempunyai kepentingan secara langsung dalam berperkara yang bersangkutan. Seorang wali atau pengampu yang bertindak sebagai pihak di muka pengadilan atas namanya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain yang di wakilinya karena yang terakhir inilah yang mempunyai kepentingan secara langsung (pasal 383, 446, 452,403-405 BW). Nama mereka harus dimuat dalam gugatan dan disebut pula dalam putusan ,disamping nama-nama yang mereka wakilinya adalah pihak materiil.
Disamping itu tidak jarang terjadi suatu pihak materiil memerlukan seorang wakil untuk beracara di muka pengadilan, karena tidak mungkin beracara tanpa diwakili. Hal ini terjadi pada badan hukum ,yang beracara atas namanya sendiri ,tetapi memerlukan seorang wakil yang bertindak di muka pengadilan selaku pihak formil untuk kepentingannya (pasal 8 no 2 Rv, 1955BW).

C. TATA CARA PENGAJUAN GUGATAN
1. Pendaftaran Gugatan
Langkah pertama mengajukan gugatan perdata adalah dengan melakukan pendaftaran gugatan tersebut ke pengadilan. Menurut pasal 118 ayat (1) HIR, pendaftaran gugatan itu diajukan ke Pengadilan Negeri berdasarkan kompetensi relatifnya – berdasarkan tempat tinggal tergugat atau domisili hukum yang ditunjuk dalam perjanjian . Gugatan tersebut hendaknya diajukan secara tertulis, ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya, dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pendaftaran gugatan itu dapat dilakukan di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.

2. Membayar Panjar Biaya Perkara
Setelah gugatan diajukan di kepaniteraan, selanjutnya Penggugat wajib membayar biaya perkara. Biaya perkara yang dimaksud adalah panjar biaya perkara, yaitu biaya sementara yang finalnya akan diperhitungkan setelah adanya putusan pengadilan. Dalam proses peradilan, pada prinsipnya pihak yang kalah adalah pihak yang menanggung biaya perkara, yaitu biaya-biaya yang perlu dikeluarkan pengadilan dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, antara lain biaya kepaniteraan, meterai, pemanggilan saksi, pemeriksaan setempat, pemberitahuan, eksekusi, dan biaya lainnya yang diperlukan. Apabila Penggugat menjadi pihak yang kalah, maka biaya perkara itu dipikul oleh Penggugat dan diambil dari panjar biaya perkara yang telah dibayarkan pada saat pendaftaran. Jika panjar biaya perkara kurang, maka Penggugat wajib menambahkannya, sebaliknya, jika lebih maka biaya tersebut harus dikembalikan kepada Penggugat.
Bagi Penggugat dan Tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara, Hukum Acara Perdata juga mengizinkan untuk berperkara tanpa biaya (prodeo/free of charge). Untuk berperkara tanpa biaya, Penggugat dapat mengajukan permintaan izin berperkara tanpa biaya itu dalam surat gugatannya atau dalam surat tersendiri. Selain Penggugat, Tergugat juga dapat mengajukan izin untuk berperkara tanpa biaya, izin mana dapat diajukan selama berlangsungnya proses persidangan. Permintaan izin berperkara tanpa biaya itu disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari camat atau kepada desa tempat tinggal pihak yang mengajukan.

3. Registrasi Perkara
Registrasi perkara adalah pencatatan gugatan ke dalam Buku Register Perkara untuk mendapatkan nomor gugatan agar dapat diproses lebih lanjut. Registrasi perkara dilakukan setelah dilakukannya pembayaran panjar biaya perkara. Bagi gugatan yang telah diajukan pendaftarannya ke Pengadilan Negeri namun belum dilakukan pembayaran panjar biaya perkara, maka gugatan tersebut belum dapat dicatat di dalam Buku Register Perkara, sehingga gugatan tersebut belum terigstrasi dan mendapatkan nomor perkara dan karenanya belum dapat diproses lebih lanjut – dianggap belum ada perkara. Dengan demikian, pembayaran panjar biaya perkara merupakan syarat bagi registrasi perkara, dan dengan belum dilakukannya pembayaran maka kepaniteraan tidak wajib mendaftarkannya ke dalam Buku Register Perkara.

4. Pelimpahan Berkas Perkara Kepada Ketua Pengadilan Negeri
Setelah Penitera memberikan nomor perkara berdasarkan nomor urut dalam Buku Register Perkara, perkara tersebut dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pelimpahan tersebut harus dilakukan secepat mungkin agar tidak melanggar prinsip-prinsip penyelesaian perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan – selambat-lambatnya 7 hari dari tanggal registrasi.

5. Penetapan Majelis Hakim Oleh Ketua Pengadilan Negeri
Setelah Ketua Pengadilan Negeri memeriksa berkas perkara yang diajukan Panitera, kemudian Ketua Pengadilan Negeri menetapkan Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara. Penetapan itu harus dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 hari setelah berkas perkara diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri. Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara tersebut terdiri dari sekurang-kurangnya 3 orang Hakim – dengan komposisi 1 orang Ketua Majelis Hakim dan 2 lainnya Hakim Anggota.


 6. Penetapan Hari Sidang
Selanjutnya, setelah Majelis Hakim terbentuk, Majelis Hakim tersebut kemudian menetapkan hari sidang. Penetapan itu dituangkan dalam surat penetapan. Penetapan itu dilakukan segera setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara, atau selambat-lambatnya 7 hari setelah tanggal penerimaan berkas perkara. Setelah hari sidang ditetapkan, selanjutnya Majelis Hakim memanggil para pihak (Penggugat dan Tergugat) untuk hadir pada hari sidang yang telah ditentukan itu.

D. PENGGABUNGAN TUNTUTAN HAK
Dalam suatu perkara perdata itu sekurang-kurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Dan perkara perdata yang sederhana, masing-masing pihak terdiri dari seorang: seorang penggugat dan seorang tergugat yang menyengketakan satu tuntutan. Tetapi tidak jarang terjadi bahwa penggugat lebih dari seorang melawan tergugat hanya seorang saja, atau seorang penggugat melawan tergugat lebih dari seorang atau kedua pihak lebih dari seorang. Hal ini di sebut kumulasi subyektif: penggabungan dari pada kumulasi subyektif terjadi misalnya apabila seorang kreditur menagih beberapa orang debitur atau beberapa orang ahli waris menggugat ahli waris lainya mengenai harta warisan.
Tidak jarang terjadi bahwa penggugat mengajukan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Ini merupakan penggabungan dari pada tuntutan yang di sebut kumulasi obyektif pada umumnya tidak di syaratkan bahwa tuntutan-tuntutan itu harus ada hubunganya yang erat satu sama lain.
Baik kumulasi subyektif maupun kumulasi obyektif pada hakekatnya merupakan penggabungan (kumulasi) dari pada tuntutan hak. Kumulasi harus kita bedakan dari konkursus yang merupakan kebersamaan adanya beberapa tuntutan hak. Konkursus terjadi apabila seorang penggugat melakukan gugatan yang mengadung beberapa tuntutan yang kesemuanya menuju pada satu akibat hukum yang sama. Dengan dipenuhi dan dikabulkanya salah satu dari tuntutan-tuntutan itu maka tuntutan lainya sekaligus terkabul.
B.      Contoh:
1. Seorang kreditur menuntut pembayaran sejumlah uang kepada beberapa orang debitur yang terikat secara tanggung renteng dengan kreditur. Dengan di bayarkanya sejumlah uang tersebut oleh salah seorang debitur itu semua tuntutan terhadap debitur lainya hapus.
2. Pemilik satu benda meminjamkan bendanya dengan persetujuan pinjam pakai. Pada waktu berakhirnya persetujuan pinjam pakai tersebut pemilik berhak menuntut pengembalian benda itu, karena dia pemiliknya, karena juga persetujuan pinjam pakai sudah berakhir, maka ia berhak menuntut pengembalian benda itu: yang pertama bedasarkan adanya hak milik. Yang kedua berdasarkan adanya persetujuan pinjam pakai.
Sementara dua pihak yaitu penggugat dan tergugat, menyengketakan sesuatu di muka pengadilan ,pihak ketiga atas kehendaknya sendiri mencampuri sengketa yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat tersebut. Pihak ketiga yang mencampuri sengketa yang sedang berlangsung disebut intervenient. Intervenient diatur dalam pasal 279-282 Rv. Ada 2 bentuk interventie : menyertai dan menengahi.

a
. WEWENANG MUTLAK DARIPADA HAKIM (KOMPETENSI ABSOLUT)
Tugas pokok daripada pengadilan ,yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman ,adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Pengadilan negeri merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk segala penduduk,yang mempunyai wewenang memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan pidana yang dulu diperiksa dan diputus oleh pengadilan-pengadilan yang dihapuskan (pasal 5 ayat 3a UU Dar. 1/1951).
Pasal 50 UU no 8 tahun 2004 menentukan bahwa Pengadilan Neger bertugas dan berwenang memeriksa, memutus ,dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara pidata di tingkat pertama.

b.
WEWENANG NISBI DARIPADA HAKIM (KOMPETENSI RELATIF)
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Diatur dalam pasal 118 HIR (pasal 142 Rbg).

E. UPAYA-UPAYA MENJAMIN HAK
Bertujuan untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan nanti. Ada beberapa bentuk upaya menjamin hak yang dilakukan oleh hukum, yaitu Permohonan Sita/ penyitaan.
Adapun pengertian sita / beslaag yaitu suatu tindakan hukum oleh hakim yang bersifat eksepsional, atas permohonan atas salah satu pihak yang bersengketa, untuk mengamankan barang-barang sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan dipindahtangankan, dibebani sesuatu sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang menguasai barang-barang tersebut, untuk menjamin agar putusan hakim nantinya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Penyitaan dilakukan oleh panitera pengadilan agama, yang wajiub membuat berita acara tentang pekerjaannya itu serta memberitahukan isinya kepada tersita bila dia hadir. Dalam melaksanakan pekerjaan itu, panitera dibantu oleh dua orang saksi yang ikut serta menandatangani berita acara.
Unsur-unsur Dalam Penyitaan antara lain yaitu pemohon sita, permohonan sita, obyek sita, tersita, hakim, pelaksana sita.

Macam-macam Sita:
1. Sita Jaminan tehadap Barang Miliknya Sendiri
Untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon atau kreditur dan berakhir dengan penyerahan barang yang disita, dibagi menjadi dua macam pula, yaitu :
a. Sita revindicatoir (ps. 226 hir, 260 Rbg)
Yang dapat mengajukan sita revindicatoir ialah setiap pemilik barang bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain (ps. 1977 ayat 2, 1751 BW). Demikian pula setiap orang yang mempunyai hak reklame, yaitu hak daripada penjual barang bergerak untuk minta kembali barangnya apabila harga tidak dibayar, dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir (ps. 1145 BW, 232 WvK).
Yang dapat disita secara revindicatoir adalah barang bergerak milik pemohon. Karena kemungkinan akan dialihkan atau diasingkannya barang tetap tersebut pada umumnya tidak ada atau kecil.
Untuk dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir tidak perlu ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang berhutang selama belum dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan (baca Ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Oleh karena tidak perlu ada dugaan akan digelapkannya barang bergerak tersebut, maka sudah wajarlah kiranya kalau pihak yang berhutang tidak perlu didengar. Barang bergerak yang disita harus dibiarkan ada pada pihak tersita untuk disimpannya, atau dapat juga barang tersebut disimpan ditempat lain yang patut.


b. Sita Maritaal (ps.823-823 j Rv)
Sita Marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya adalah untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita, agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga. Oleh karena sifatnya hanyalah menyimpan, maka sita marital ini tidak perlu dinyatakan sah dan berharga apabila dikabulkan. Pernyataan sah dan berharga itu diperlukan untuk memperoleh titel eksekutorial yang mengubah sita jaminan menjadi sita eksekutorial, sehingga putusan dapat dilaksanakan dengan penyerahan atau penjualan barang yang disita. Sita maritaal tidak berakhir dengan penyerahan atau penjualan barang yang disita.
Sita maritaal ini dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri oleh seorang isteri, yang tunduk pada BW, selama sengketa perceraiannya diperiksa di pengadilan, terhadap barang-barang yang merupakan kesatuan harta kekayaan, untuk mencegah agar pihak lawannya tidak mengasingkan barang-barang tersebut (Ps. 190 BW, 823 Rv). Jadi yang dapat mengajukan sita maritaal adalah si isteri Yang dapat disita secara maritaal ialah baik barang bergerak dari kesatuan harta kekyaan atau milik isteri maupun barang tetap dan kesatuan harta kekayaan (Ps. 823 Rv). HIR tidak mengenal sita maritaal ini, tetapi seperti yang dapat kita lihat di atas, sita maritaal ini diatur dalam Rv. Di dalam praktek peradilan sekarang ini sita maritaal tidak banyak dimanfaatkan.

2. Sita Jaminan tehadap Barang Milik Debitur
Penyitaan inilah yang biasanya disebut sita conservatoir. Sita conservatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tutntutan penggugat. Penyitaan ini hanya dapat terjadi berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan kreditur atau penggugat (Ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Dalam konkretnya permohonan diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Setiap saat debitur atau tersita dapat mengajukan permohonan kepada hakim yang memeriksa pokok perkara yang bersangkutan, agar sita jaminan atas barangnya dicabut. Permohonan pencabutan atau pengangkatan sita jaminan dari debitur dapat dikabulkan oleh hakim apabila debitur menyediakan tanggungan yang mencukupi (Ps. 227 ayat 5 HIR, 261 ayat 8 Rbg). Demikian pula apabila ternyata bahwa sita jaminan itu tidak ada manfaatnya (vexatoir) atau barang yang telah disita ternyata bukan milik debitur.
Di dalam praktek dapatlah dikatakan bahwa pada umumnya setiap permohonan sita jaminan selalu dikabulkan : hakim terlalu mudah mengabulkan permohonan sita jaminan.

Yang dapat disita secara conservatoir ialah :
a. Sita Conservatoir atas barang bergerak milik debitur (Ps. 227 jo. 197 HIR jo. 208 Rbg)
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap ada pada tergugat atau tersita untuk disimpannya dan dijaganya serta dilarang menjual atau mengalihkannya (Ps. 197 ayat 9 HIR, 212 Rbg). Atau barang bergerak yang disita itu dapat pula disimpan ditempat lain. Jadi dengan adanya sita conservatoir itu tersita atau tergugat sebagai pemilik barang yang disita kehilangan wewenangnya atas barang miliknya.
Permohonan pelaksanaan putusan yang timbul kemudian setelah diadakan penyitaan tidak dikabulkan dengan mengadakan penyitaan lagi terhadap barang yang sama (sita rangkap). Menurut pasal 201 HIR (Ps. 219 Rbg) apabila ada dua permohonan pelaksanaan putusan atau lebih diajukan sekaligus terhadap seorang debitur, maka hanya dibuatkan satu berita acara penyitaan saja. Dari dua pasal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa tidak dapat diadakan sita rangkap terhadap barang yang sama. Para kreditur lainnya dapat mengajukan permohonan kepada Ketua PN untuk ikut serta dalam pembagian hasil penjualan barang debitur yang telah disita (Ps. 204 ayat 1 HIR, 222 ayat 1 Rbg). Asas larangan sita rangkap ini, yang disebut saisie sur saisie ne vaut, lebih tegas dimuat dalam pasal 463 Rv.

b. Sita Conservatoir atas barang tetap milik debitur (Ps. 227, 197,198, 199 HIR 261, 208,214 Rbg)
Jika disita barang tetap, maka agar jangan sampai barang tersebut dijual, penyitaan itu harus diumumkan dengan memberi perintah kepada kepala desa supaya penyitaan barang tetap itu diumumkan ditempat, agar diketahui orang banyak. Kecuali di salinan berita acara penyitaan didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Tanah Ps. 30 PP. 10/1961 jo Ps. 198 ayat 1 HIR, 213 ayat 1 Rbg). Penyitaan barang tetap harus dilakukan oleh jurusita ditempat barang-barang itu terletak dengan mencocokkan batas-batasnya dan disaksikan pleh pamong desa. Terhitung mulai hari berita acara penyitaan barang tetap itu dimaklumkan kepada umum, maka pihak yang disita barangnya dilarang memindahkannya kepada orang lain, membebani atau menyewakan (Ps. 199 HIR, 214 Rbg). Penyitaan barang tetap itu meliputi juga tanaman diatasnya serta hasil panen pada saat dilakukan penyitaan. Kalau barang tetap itu disewakan oleh pemiliknya, maka panen itu menjadi milik penyewa. Sedangkan sewa yang belum dibayarkan kepada pemilik barang tetap yang telah disita (Ps. 509 Rv).

c. Sita Conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada di tangan pihak ketiga (Ps. 728 Rv, 197 ayat 8 HIR, 211 Rbg)
Apabila debitur mempunyai piutang kepada pihak ketiga, maka kreditur untuk menjamin haknya dapat melakukan sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada pada pihak ketiga itu. Sita conservatoir ini yang disebut derdenbeslag, diatur dalam pasal 728 Rv. Kreditur dapat menyita, atas dasar akta autentik atau akta dibawah tangan pihak ketiga. Dalam hal ini dibolehkan sita rangkap (Ps. 747 Rv). HIR tidak mengatur derdensblag sebagai sita conservatoir tetapi sebagai sita eksekutorial. Pasal 197 ayat 8 HIR (Ps. 211 Rbg) menentukan, bahwa penyitaan barang bergerak milik debitur, termasuk uang dan surat-surat berharga, meliputi juga barang bergerak yang bertubuh yang ada di tangan pihak ketiga. Akan tetapi sita conservatoir ini tidak boleh dilakukan atas hewan dan alat-alat yang digunakan untuk mencari mata pencaharian. Disamping tiga macam sita conservatoir seperti tersebut diatas Rv masih mengenal beberapa sita conservatoir lainnya, yaitu :

d. Sita Conservatoir terhadap kreditur (Ps. 75a Rv)
Ada kemungkinannya bahwa debitur mempunyai piutang kepada kreditur. Jadi ada hubungan piutang timbal balik antara kreditur dan debitur. Dalam hubungan piutang timbal balik antara kreditur dan debitur ini, dimana kreditur juga sekaligus debitur dan kreditur juga sekaligus debitur, tidak jarang terjadi bahwa prestasinya tidak dapat dikompensasi.

e. Sita gadai atau pandbeslag (Ps. 751-756 Rv)
Sita gadai ini sebagai sita conservatoir hanyalah dapat diajukan berdasarkan tuntutan yang disebut dalam pasal 1139 sub 2 BW dan dijalankan atas barang-barang yang disebut dalam pasal 1140 BW.

f. Sita Conservatoir atas barang barang debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia (Ps. 757 Rv)
Ratio dari sita conservatoir ini yang disebut juga sita saisie foraine, ialah untuk melindungi penduduk Indonesia terhadap orang-orang asing bukan penduduk Indonesia, maka oleh karena itu berlaku juga dengan sendirinya bagi acara perdata di Pengadilan Negri.
g. Sita Conservatoir atas pesawat terbang (Ps.763h-763k Rv)
Apakah semua barang milik debitur disita secara conservatoir? Pada asasnya semua barang bergerak maupun tetap milik debitur menjadi tanggung jawab untuk segala perikatan yang bersifat perorangan (Ps. 1131 BW), dan semua hak-hak atas harta kekayaan dapat diuangkan untuk memenuhi tagihan, sehingga dengan demikian dapat disita.
Penyitaan barang milik Negara
Pada dasarnya barang-barang milik negara yaitu seperti uang negara yang ada pada pihak ketiga, piutang negara pada pihak ketiga, barang-barang bergerak milik negara, tidak dapat disita kecuali ada izin dari hakim. Izin untuk menyita barang-barang milik negara itu harus dimintakan kepada MA (pasal 65, 66 ICW, S. 1864 no 106).


PROSES PEMERIKSAAN PERKARA DI SIDANG PENGADILAN
Jika perkara perdata tidak dapat diselesaikan secara damai, tahapan-tahapan pemeriksaannya dipengadilan negeri dapat digambarkan sebagai berikut :
  1. Penggugat Mengajukan Gugatan (di kepaniteraan, diproses);
  2. Proses mediasi untuk mengusahakan perdamaian;
  3. Tergugat menyampaikan eksepsi/jawaban;
  4. Penggugat menyampaikan replik;
  5. Tergugat menyampaikan duplik;
  6. Penggugat dan tergugat menyampaikan alat-alat bukti;
  7. Penggugat dan tergugat menyampaikan tanggapan terhadap alat bukti yang diajukan pihak lawan;
  8. Penggugat dan tergugat menyampaikan kesimpulkan; dan
  9. Hakim membacakan putusan.
Kalau pada sidang pertama tergugat tidak hanya menyampaikan eksepsi dan jawaban tetapi juga melakukan gugatan balik (rekonvensi), tahapan-tahapan pemeriksaan sebagai berikut :
  1. Penggugat mengajukan Gugatan awal/kovensi(di kepaniteraan, diproses);
  2. Proses mediasi untuk mengusahakan perdamaian;
  3. Tergugat menyampaikan eksepsi,jawaban dan gugatan balik/rekonvensi;
  4. Penggugat konvensi/tergugat rekonvensi, menyampaikan replik inkonvensi dan jawaban inrekonvensi ;
  5. Tergugat konvensi/penggugat rekonvensi, menyampaikan duplik inkonvensi dan replik inrekonvensi;
  6. Tergugat rekonvensi manyampaikan duplik inrekonvensi;
  7. Penggugat dan tergugat menyampaikan alat-alat bukti;
  8. Penggugat dan tergugat menyampaikan tanggapan terhadap alat bukti yang diajukan pihak lawan;
  9. Penggugat dan tergugat menyampaikan kesimpulkan; dan
  10. Hakim membacakan putusan.


Note :
  • Penggugat adalah pihak yang memulai membuat perkara dengan mengajukan gugatan  karena merasa hak perdata dirugikan.
  • Tergugat adalah pihak yang ditarik dimuka pengadilan karena dirasa oleh penggugat sebagai yang merugikan hak perdatanya.
  • eksepsi (tangkisan) adalah jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara.
  • Jawaban adalah jawaban tergugat yang langsung mengenai pokok perkara.
  • Replik yaitu jawaban penggugat baik terulis maupun lisan terhadap jawaban tergugat atas gugatannya.
  • Duplik yaitu jawaban tergugat terhadap replik yang diajukan penggugat.
  • Penggugat konvensi adalah penggugat awal.
  • Penggugat rekonvensi adalah penggugat balik.
  • Konvensi adalah gugatan penggugat awal.
  • Rekonvensi adalah gugatan balik terhadap penggugat oleh tergugat disampaikan pada sidang pertama.
  • Replik inkonvensi adalah jawaban penggugat konvensi terhadap jawaban yang diajukan tergugat konvensi.
  • Duplik inkonvensi adalah jawaban tergugat konvensi terhadap replik  penggugat konvensi.
  • Jawaban inrekonvensi adalah jawaban tergugat rekonvensi terhadap gugatan rekonvensi.
  • Replik inrekonvensi adalah jawaban penggugat rekonvensi terhadap jawaban yang diajukan tergugat rekonvensi.
  • Duplik inrkonvensi adalah jawaban tergugat rekonvensi terhadap replik  penggugat rekonvensi.




PUTUSAN HAKIM DAN PELAKSANAANNYA
A.PENGERTIAN PUTUSAN DAN MACAM-MACAM PUTUSAN
Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Sedangkan akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.

Di bawah ini merupakan pengertian putusan hakim atau pengadilan menurut:
1. Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H., merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat akibat-akibatnya.
2. Bab I pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata menyebutkan putusan pengadilan adalah : suatu putusan oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman, yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu gugatan.
3. Ridwan Syahrani, S.H. memberi batasan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara perdata.
4. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., memberi batasan putusan hakim adalah : suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan No. 1/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstuksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan hakim di depan persidangan yang terbuka untuk umum dengan yang tertulis.
Putusan hakim harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum bila hal tersebut tidak dilaksanakan maka terhadap putusan tersebut terancam batal, akan tetapi untuk penetapan hal tersebut tidak perlu dilakukan .
Setiap putusan hakim harus dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera yang memeriksa perkara tersebut. Berdasarkan pasal 187 HIR apabila ketua sidang berhalangan menandatangani maka putusan itu harus ditandatangani oleh hakim anggota tertua yang telah ikut memeriksa dan memutus perkaranya, sednangkan apabila panitera yang berhalangan maka untuk hal tersebut cukup dicatat saja dalam berita acara.

Berdasarkan pasal 184 HIR suatu putusan hakim harus berisi :
a. Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan dan jawaban.
b. Alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dari putusan hakim.
c. Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara.
d. Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu keputusan itu dijatuhkan.
e. Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang, ini harus disebutkan.
f. Tandatangan hakim dan panitera.
Berdasarkan pasal 23 UU No. 14/1970, isi keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari perturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

1. BAGIAN PUTUSAN
Hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan karena adanya gugatan dari salah satu pihak adalah putusan. Lain halnya dengan permohonan yang hasil akhirnya adalah penetapan. Perkara permohonan hanya mengenal pemohon saja dan tidak ada pihak lain sebagai lawan.
Suatu putusan pengadilan pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
a. Kepala Putusan
Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 4 ayat (1) UU No. 14/1970). Tulisan tersebutlah yang membuat suatu putusan mempunyai kekuatan eksekutorial, karena bila dapat suatu putusan tidak terdapat tulisan tersebut maka putusan pengadilan tersebut tidak dapat dilaksanakan (Pasal 224 HIR).


b. Identitas Para Pihak Yang Berperkara
Dalam putusan pengadilan identitas para pihak yang berperkara harus dimuat secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan dan sebagainya, serta nama kuasanya bila yang bersangkutan mengkuasakan kepada orang lain.

c. Pertimbangan (Konsideran)
Bagian ini merupakan dasar dari suatu putusan terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu, pertimbangan tentang duduk perkaranya (Feitelijke gronden) adalah tentang apa yang terjadi di depan pengadilan seringkali gugatan dan jawaban dikutip secara lengkap dan pertimbangan hukum (rechts gronden) yang menentukan nilai dari suatu putusan.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 638 k/Sip/1969, tanggal 22 Juli 1970 jo No. 492 k/Sip/1970, tanggal 16 Desember 1970, menyatakan bahwa jika suatu putusan pengadilan kurang cukup pertimbangannya, hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk mengajukan kasasi yang berakibat batalnya putusan tersebut.Sedangkan putusan MARI No. 372 k/Sip/1970, tangal 1 September 1971 menyatakan bahwa putusan pengadilan yang didasarkan atas pertimbangan yang menyimpang dari dasar gugatan haruslah dibatalkan.

d. Amar Putusan (Dictum)
Putusan MARI No. 104 k/Sip/1968, menyatakan bahwa hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan, baik dalam kopensi maupun dalam rekopensi, bila tidak maka putusan tersebut harus dibatalkan. Walaupun demikian hakim tidak boleh menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak di tuntut (pasal 178 HIR, MARI No. 399 k/Sip/1969 tanggal 21 Februari 1970 dan MARI No. 1245 k/Sip/1974, tanggal 9 November 1976).

2. PENGGOLONGAN PUTUSAN
Putusan dapat di golongkan menjadi :
a. Putusan Sela (Tussenvonnis)
Merupakan putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Semua putusan sela diucapakan dalam sidang dan merupakan bagian dari berita acara persidangan. Terhadap salinan otentik dari putusan sela tersebut kedua belah pihak dapat memperolehnya dari berita acara yang memuat putusan sela tersebut.


Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam putusan sela yaitu :
a) Putusan Preparatoir
Adalah putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan guna melancarkan proses persidangan hingga tercapai putusan akhir.
b) Putusan Interlocutoir
Adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, isi putusan ini mempengaruhi putusan akhir.
c) Putusan Incidentieel
Adalah putusan yang berhubungan dengan insiden, yitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa. Putusan ini belum berhubungan dengan pokok perkara, masih bersifat formil belum menyangkut materil suatu perkara.
d) Putusan Provisionieel
Adalah putusan yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara supaya diadakan tindakan pendahuluan untuk kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.

b. Putusan Akhir (Eindvonnis)
Merupakan putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu.
Putusan akhir menurut sifat amarnya (dictumnya), dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :
1) Putusan Declaratoir
Adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini bersifat hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.
2) Putusan Constitutief
Adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum baru. Keadaan hukum baru tersebut dapat berupa meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.
3) Putusan Condemnatoir
Adalah putusan yang bersifat menghukum para pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.
Dalam praktek sehari-hari dalam suatu putusan akhir terdapat beberapa jenis sifat putusan, seperti gabungan antara putusan yang bersifat declaratoir dan condemnatoir atau antara putusan yang bersifat declaratoir dan consitutif dan sebagainya.
B. UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN HAKIM
1. Pengertian Upaya Hukum
Upaya hukum ialah suatu usaha setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.

2. Jenis-Jenis Upaya Hukum
KUHP membedakan upaya hukum menjadi dua, yaitu upaya hukum biasa dan luar biasa.
a. Upaya Hukum Biasa
Adalah upaya hukum yang dapat digunakan oleh para hakim sebelum putusan memiliki kekuatan hokum yang tetap.
Upaya hukum biasa terdiri dari tiga bagian (didalam KUHP hanya diatur mengenai banding dan kasasi) , yaitu :
1) Upaya Hukum Verzet
Verzet ialah upaya hukum terhadap putusan verstek (putusan yang dijatuhkan dalam kasus tidak hadirnya tergugat di persidangan walau sudah dipanggil secara patut) yang hanya menyangkut perampasan kemerdekaan terdakwa. Tidak seperti putusan biasa yang dapat dimintakan Banding, terhadap putusan verstek hanya dapat dimintakan verzet. Dalam putusan MA no. 1936 K/Pdt/1984, antara lain ditegaskan bahwa permohonan banding yang diajukan terhadap putusan verstek tidak dapat diterima karena upaya hukum terhadap verstek adalah verzet.
Verztek atau perlawanan merupakan upaya hukum yang dapat digunakan oleh tergugat yang dikalahkan dalam putusan di luar hadir.
Bagi penggugat dalam putusan verstek upaya hukum yang dapat digunakan adalah banding.

2) Upaya Hukum Banding
Banding artinya ialah mohon supaya perkara yang telah diputus oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh Pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding), karena merasa belum puas dengan keputusan Pengadilan tingkat pertama. Yang merupakan Pengadilan tingkat pertama adalah Pengadilan Agama (PA), sedangkan yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding adalah Pengadilan Tinggi Agama (PTA)/Pengadilan Tinggi Umum (PTU). (pasal 6 UU No.7/1989).


Putusan Pengadilan yang bisa diajukan banding adalah :
- Putusan yang bersifat pemidanaan.
- Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum.
- Putusan dalam perkara cepat yang menyangkut perampasan kemerdekaan terdakwa.
- Putusan pengadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidik atau penuntutan.

Adapun yang merupakan syarat-syarat dari upaya banding adalah sebagai berikut :
- Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara.
- Diajukan dalam masa tenggang waktu banding.
- Putusan tersebut menurut hukum boleh dimintakan banding
- Membayar panjar biaya banding, kecuali dalam hal prodeo.
- Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding.

Untuk pemeriksaan tingkat banding dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang berperkara. Pihak lain di luar yang berperkara tidak berhak mengajukan banding (pasal 6 UU No. 20/1947), kecuali kuasa hukumnya. Untuk masa tenggang waktu penajuan banding di tetapkan sebagai berikut : bagi pihak yang bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut maka masa bandingnya 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan. Sedangkan bagi pihak yang bertempat tinggal di luar hukum Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut maka masa bandinya ialah 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan. (pasal 7 UU No. 20/1947).
Mencabut permohonan banding
Sebelum permohonan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama/Pengadilan Tinggi Umum, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon. Apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi Agama maka :
- Pencabutan disampaikan kepada Pengadilan agama yang bersangkutan.
- Kemudian oleh panitera dibuatkan akta pencabutan kembali permohonan banding.
- Putusan baru memperoleh kekuatan hukum tetap setelah tenggang waktu banding berakhir.
- Berkas perkara banding tidak perlu diteruskan kepada PTA/PTU/PTN.


Sedangkan apabila berkas perkara banding telah dikirimkan kepada PTA/PTU/PTN, maka :
- Pencabutan banding disampaikan melalui PA yang bersangkutan atau langsung ke PTA/PTU/PTN.
- Apabila pencabutan itu disampaikan melalui PA maka pencabutan itu segera dikirimkan ke PTA/PTU/PTN.
- Apabila permohonan banding belum diputus maka PTA/PTU/PTN akan mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan pencabutan kembali permohonan banding dan memerintahkan untuk mencoret dari daftar perkara banding.
- Apabila perkara telah diputus maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan.
- Apabila pemohonan banding dicabut, maka putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak pencabutan dikabulkan dengan “penetapan” tersebut.
Dan pencabutan banding itu tidak diperlukan persetujuan dengan pihak lawan.

3) Upaya Hukum Kasasi
Kasasi artinya pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung (MA). Sedangkan pengertian pengadilan kasasi ialah Pengadilan yang memeriksa apakah judex fatie tidak salah dalam melaksanakan peradilan. Upaya hukum kasasi itu sendiri adalah upaya agar putusan PA dan PTA/PTU/PTN dibatalkan oleh MA karena telah salah dalm melaksanakan peradilan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kasasi adalah sebagai berikut : Pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh MA terhadap putusan hakim, karena putusan itu, menyalahi atau tidak sesuai dengan undang-undang. Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa hak kasasi hanyalah hak MA, sedangkan menurut kamus istilah hokum, kasasi memiliki arti sebagai berikut : pernyataan tidak berlakunya keputusan hakim yang lebih rendah oleh MA, demi kepentingan kesatuan peradilan.

Syarat-syarat kasasi
Ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan kasasi, yaitu sebagai berikut :
- Diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi.
- Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.
- Putusan atau penetapan PA dan PTA/PTU/PTN, menurut huku dapat dimintakan kasasi.
- Membuat memori kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985).
- Membayar panjar biaya kasasi (pasal 47).
Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang bersangkutan. Untuk permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi yaitu, 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada yang bersangkutan (pasal 46 ayat (1) UU No. 14/1985). Apabila 14 (empat belas) telah lewat tidak ada permhonan kasasi yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan maka dianggap telah menerima putusan (pasal 46 ayat (2) UU No. 14/1985). Pemohon kasasi hanya dapat diajukan satu kali (pasal 43 UU No. 14/1985).
Alasan-alasan kasasi
MA merupakan putusan akhir terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding, atau Tingklat Terakhir dari semua lingkungan Peradilan.

Ada beberapa alasan bagi MA dalam tingkat kasasi untuk membatalkan putusan atau penetapan dari semua lingkungan peradilan, diantarannya ialah sebagai berikut :
- Karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
- Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
- Lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (pasal 30 UU No. 14 /1985).

Suatu penetapan PA maupun PTA/PTU/PTN yang menurut hukum tidak dapat dimintakan banding, maka dapat dimintakan kasasi ke MA dengan alasan-alasan tersebut di atas. Untuk suatu putusan PA yang telah dimintakan banding kepada PTA/PTU/PTN, maka yang dimintakan kasasi adalah keputusan PTA tersebut, karena adanya banding tersebut berarti putusan PA telah masuk atau diambil alih oleh PTA/PTU/PTN.
Mencabut permohonan kasasi (pasal 49 UU No. 14/1985).

Sebelum permohonan kasasi diputuskan oleh MA maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon, tanpa memerlukan persetujuan dari pihak lawan, apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada MA, maka :
- Pencabutan disampaikan kepada PA yang bersangkutan, baik secara tertulis maupun lisan.
- Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan Kembali Permohonan Kasasi.
- Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi walaupun tenggang waktu kasasi belum habis.
- Berkas perkara tidak perlu di teruskan ke MA.
Dan apabila berkas perkara sudah dikirimkan kepada MA, maka :
- Pencabutan disampaikan melalui PA yang bersangkutan atau langsung ke MA.
- Apabila pencabutan disampaikan melalui PA, maka pencabutan segera dikirimkan kepada MA.
- Apabila permohonan kasasi belum diputuskan, maka MA akan mengeluarkan “penetapan” yang isinya bahwa mengabulkan permohonan pencabutan kembali perkara kasasi dan memerintahkan untuk mencoret perkara kasasi.
- Apabila permohonan kasasi telah diputuskan, maka pencabutan kembali tidak mungkin dikabulkan.

Kasasi demi kepentingan hukum (pasal 45 UU No. 14/1985).
Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya dalam perkara perdata maupun tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding di semua lingkungan Peradilan. Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan hanya satu kali. Dan putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan piha-pihak yang berperkara, artinya ialah tidak menunda pelaksanaan putusan dan tidak mengubah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

4) Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)
Kata peninjauan kembali diterjemahkan dari kata “Herziening”, Mr. M. H. Tirtaamijaya menjelaskan herziening sebagai berikut : itu adalah sebagai jalan untuk memperbaiki suatu putusan yang telah menjadi tetap-jadinya tidak dapat diubah lagi dengan maksud memperbaiki suatu kealpaan hakim yang merugikan si terhukum…, kalau perbaikan itu hendak dilakukan maka ia harus memenuhi syarat, yakni ada sesuatu keadaan yang pada pemeriksaan hakim, yang tidak diketahui oleh hakim itu…, jika ia mengetahui keadaan itu, akan memberikan putusan lain.
Dalam buku yang lain menyatakan bahwa peninjauan kembali atau biasa disebut Request Civiel adalah meninjau kembali putusan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal baru yang dulu tidak dapat diketahui oleh hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan hakim akan menjadi lain.
Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan oleh MA. Peninjauan kembali diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan oleh undang-undang terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada MA, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan (pasal 21 UU No. 14/1970).

Syarat-syarat peninjauan kembali
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk peninjauan kembali diantaranya sebagai berikut :
- Diajukan oleh pihak yang berperkara.
- Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Membuat surat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.
- Membayar panjar biaya peninjauan kembali.
- Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang memutus perkara pada tingkat pertama.

Adapun yang berhak mengajukan peninjauan kembali adalah para pihak yang berperkara atau ahli warisnya (yang dapat dibuktikan dengan akta dibawah tanda tangan mengenai keahliwarisannya yang didelegasi oleh Ketua Pengadilan Agama) apabila pemohon meninggal dunia (pasal 68 UU No. 14/1985), juga bisa dengan wakil yang secara khusus dikuasakan untuk mengajukan permohonan PK dengan bukti adanya surat kuasa. Adapun Permohonan PK diajukan dalam masa tenggang waktu yang tepat yaitu 180 (seratus delapan puluh) hari.
Alasan-alasan peninjauan kembali

Beberapa alasan diajukannya peninjauan kembali, antara lain :
- Adanya putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim pidana dinyatakan palsu.
- Apabila perkara sudah diputus, tetapi masih ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
- Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.
- Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu yang sama, atau dasarnya sama, diputuskan oleh pengadilan yang sama tingkatnya, tetapi bertentangan dalam putusannya satu sama lain.
- Apabila dalam suatu putusan terdapat kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. (pasal 67 UU No. 14/1985).
Pencabutan permohonan peninjauan kembali
Permohonan PK dapat dicabut selam belum diputuskan, dalam dicabut permohonan peninjauan kembali (PK) tidak dapat diajukan lagi (pasal 66 ayat (3) UU No. 14/1985). Pencabutan permohonan PK ini dilakukan seperti halnya pencabutan permohonan kasasi.

b. Upaya Hukum Luar Biasa
Untuk upaya hukum luar biasa (istimewa) ada dua :
- Rekes Sipil (Peninjauan Kembali).
- Derden Verzet.
Di dalam buku yang lain disebutkan bahwa upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa di atas merupakan upaya hukum melawan putusan. Sesungguhnya masih ada macam-macam (jeni-jenis) upaya hukum yang lain, seperti upaya hukum melawan gugatan yang terdiri dari tiga jenis yaitu : Eksepsi, Rekonvensi (gugat balik) dan minta vrijwaring (ditarik sebagai penjamin), selanjutnya upaya hukum melawan sita yang terdiri dari dua bagian yaitu Verzet yang bersangkutan dan Verzet pihak ketiga, selanjutnya upaya hukum melawan eksekusi yang terdiri dari dua bagian yaitu Verzet yang bersangkutan dan Verzet pihak ketiga, selanjutnya upaya hukum mencampuri proses yang terdiri dari tiga bagian yakni, intervensi (tussenkomst = mencampuri), voeging (turut serta pada salah satu pihak semua), dan vrijwaring (ditarik sebagai penjamin), dan upaya hukum pembuktian yang terdiri dari beberapa bagian yan diantaranya saksi, tulisan, dugaan/persangkaan, pengakuan, sumpah dan sebagainya dengan alat-alat bukti yang sah .
Semua jenis-jenis (macam-macam) upaya hukum tersebut hanya sebagai tambahan pengetahuan saja. Pada makalah ini hanya akan membahas tentang upaya hukum banding, upaya hukum kasasi dan upaya hukum peninjauan kembali (PK).

C. SYARAT-SYARAT PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM
Di dalam dunia peradilan, ada beberapa jenis pelaksanaan putusan yaitu :
1. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang.
2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan.
3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap.
4. Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang.
Selanjutnya didalam mengeksekusi putusan pengadilan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain :
1. Putusan telah berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal :
a. Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu.
b. Pelaksanaan putusan provinsi.
c. Pelaksanaan akta perdamaian.
d. Pelaksanaan Grose Akta.

2. Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara suka rela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua pengadilan.

3. Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, sehingga dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi.

4. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan.
Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi tidak berwenang melaksanakaan eksekusi. Sedangkan tata cara sita eksekusi sebagai berikut:
1) Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan.

2) Berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan, surat perintah Ketua Pengadilan dikeluarkan apabila :
- Tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah.
- Tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan.

3) Dilaksanakan oleh panitera atau juru sita.

4) Pelaksanaan sita eksekusi harus dibantu oleh dua orang saksi :
- Keharusan adanya dua saksi merupakan syarat sah sita eksekusi.
- Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu sekaligus sebagai saksi sita eksekusi.
- Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam berita acara sita eksekusi.




Saksi-saksi tersebut harus memenuhi syarat :
a. Telah berumur 21 tahun
b. Berstatus penduduk Indonesia
c. Memiliki sifat jujur

5) Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi.

6) Membuat berita acara sita eksekusi yang memuat :
a. Nama, pekerjaan dan tempat tinggal kedua saksi.
b. Merinci secara lengap semua pekerjaan yang dilakukan.
c. Berita acara ditanda tangani pejabat pelaksana dan kedua saksi (pihak tersita dan juga kepala desa tidak diharuskan, menurut hukum, untuk ikut menanda tangani berita acara sita).
Isi berita acara sita harus diberi tahukan kepada pihak tersita, yaitu segera pada saat itu juga apabila ia hadir pada eksekusi penyitaan tersebut, atau jika tidak hadir maka dalam waktu yang secepatnya segera diberitahukan dengan menyampaikan di tempat tinggalnya.

7) Penjagaan yuridis barang yang disita diatur sebagai berikut :
a. Penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap berada di tangan tersita.
b. Pihak tersita tetap bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat dilakukan penjualan lelang.
c. Penempatan barang sita eksekusi tetap diletakkan di tempat mana barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain.
d. Penguasaan penjagaan tersebut harus disebutkan dalam berita acara sita.
e. Mengenai barang yang bisa habis dalam pemakaian, maka tidak boleh dipergunakan dan dinikmati oleh tersita.
8) Ketidak hadiran tersita tidak menghalangi sita eksekusi.

D. TATA CARA PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM
Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) . Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi.
Putusan yang memerlukan eksekusi adalah putusan yang bersifat condemnatoir, sedangkan putusan yang bersifat declataroir dan constitutive tidak memerlukan eksekusi.
Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau terhadap putusan yang mengabulkan tuntutan dapat dilaksanakannya putusan terlebih dahulu.

Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah:
a. Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan.
b. Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan putusan-putusannya.

Pelaksanaan putusan hakim dapat Secara sukarela, atau Secara paksa dengan menggunakan alat Negara, apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela. Semua keputusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat Negara .Keputusan pengadilan bersifat eksekutorial adalah karena pada bagian kepala keputusannya berbunyi “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar